Senin, 15 Februari 2010

CATATAN DARI PENJARA WANITA - MALANG

Hari Sabtu, 13 Pebruari 2010 merupakan hari yang telah kami tetapkan untuk berkunjung ke penjara wanita dengan maksud untuk melakukan pertemuan pendahuluan dengan para pengelola guna meminta ijin untuk melakukan pengabdian di sana. Dengan optimis kami janjian berangkat jam 8 pagi, kami akan berangkat dari rumah masing-masing dan bertemu langsung di lokasi. Pagi itu, ketika aku belum keluar rumah, tiba-tiba hp-ku berbunyi, ternyata temanku yang sedang naik mikrolet menelepon karena dia telah sampai di Kacuk, kebalasan karena tidak tahu dimana lokasi penjara wanita yang sebenarnya. Ketika aku balik bertanya, apakah bukan yang di dekat RS. Lavalette, dia bilang itu penjara laki-laki. Lalu dia bilang akan naik becak untuk menemukan lokasi penjara wanita.
Untuk menyusul temanku, aku memutuskan untuk naik ojek. Ketika aku bilang ke penjara wanita, tukang ojeknya kelihatan ragu-ragu, kemudian dia bertanya, apakah aku sudah pernah ke sana, ketika kujawab belum, tapi saya tahu kalau lokasinya di daerah Kacuk. Lalu tukang ojek tersebut bertanya kepada teman-temanya, dimana lokasi penjara wanita, segerombolan tukang ojek pun memandang aneh padaku, kemuadian salah seorang memberitahu bahwa itu lokasinya di Kacuk, kalau tidak tahu tempatnya, dia bersedia mengangkutku. Namun tukang ojek pertama memutuskan menstarter motornya dan kami pun berangkat. Setelah kami sampai di daerah Kacuk, barulah kami bertanya-tanya. Di depan sebuah rumah kami berhenti. Di depan rumah ada seorang bapak yang sedang memperbaiki pintu depan. Setelah aku permisi dan bertanya dimanakah lokasi penjara wanita, orang tersebut memandang aneh kepada kami, setelah dia menunjukkan arah penjara, dia pun bertanya kepada kami. Dari mana? Ketika kami jawab “Arjosari” dia pun diam, dengan ekspresi yang tak dapat kuterjemahkan.
Setelah sempat kebablasan, kami pun memutar dan aku melihat temanku berdiri di pinggir jalan, depan penjara wanita. Setelah ojek yang kutumpangi berhenti di halaman depan penjara wanita, aku mendatangi temanku untuk kuajak masuk. Sesaat kami saling berpandangan, karena kami sama-sama tidak tahu bagaimana prosedur berkunjung ke penjara dan tidak dapat menduga bakal seperti apa penerimanaan mereka, mengingat kami tidak membawa surat pengantar dari manapun.

Kami pun memutuskan untuk bertanya pada petugas loket, tentang bagaimana caranya kalau kami ingin bertemu dengan humas. Setelah ditanya kami dari mana dan temanku menyebutkan nama kampus yang mempekerjakannya dan menjelaskan tujuan kami datang, petugas tersebut lantas menelepon, rupanya orang yang di ujung telepon mempersilahkan kami masuk. Pintu gerbangpun dibuka oleh petugas, dan kami dipersilahkan menyimpan tas dan hp di loker. Petugas tersebut juga menyuruh kami memakai identitas tamu dan berkata “supaya tidak sama dengan yang di belang sana”. Dia pun mempersilahkan kami menemui ibu Martiningsih, pegawai yang menangani Bimkemaswat. Selagi temanku menjelaskan maksud kedatangan kami, mataku jelalatan membaca papan-papan yang tertempel di dinding ruangan tersebut. Di sana tertulis jumlah tahanan kemarin 259, hari ini keluar 2 dan tersisa 257 orang. Sekitar 5 menit berbincang, kamipun diajak menghadap kepala penjara. Ternyata disana juga sedang ada tamu, dari segaramnya aku mengira dia pegawai kejaksaan. Penerimaan yang sangat baik. Ibu kepala penjara menjelaskan bahwa penjara wanita ini telah memperoleh ISO pada tahun 2008 dan beliau memberi tanggapan baik tentang maksud kami untuk mengadakan pengabdian kepada warga binaannya. Beliau berjanji akan meminta ibu Martiningsih untuk mengajak kami keliling untuk mengetahui keadaan penjara yang sebenarnya. Beliau bilang “Ibu-ibu akan lihat bahwa suasananya tidak akan seseram yang dibayangkan orang, seperti tidak sedang berada di penjara”, katanya. Dan beliau pun meminta kami untuk menunggu di lobi, sementara beliau berdialog dengan tamu lain dan ibu Martiningsih.
Selama menunggu di lobi, mataku sibuk merekam suasana di sekitarku, beberapa orang perempuan lalu lalang dengan seragam kaos merah muda, beberapa petugas laki-laki dan perempuan keliling membawa radio panggil. Sementara di sana-sini kulihat tanaman hias yang terawat baik yang di pot maupun yang di tanam di tanah, ada melati air, gelombang cinta, anggrek, adenium dan lain sebagainya. Taman-taman sangat terawat dan bersih, mulai selokan air, rumput penutup sampai bunganya.
Setelah menunggu dalam waktu sekitar 15 menit, kamipun diajak ibu Martiningsih masuki pintu yang menghubungkan ruang kantor dan area lain. Di balik pintu itu ternyata terbentang pemandangan yang luas, ada lapangan voli, salon untuk praktek, perpustakaan, ruang kerja, bengkel, ruang musik, dapur, ruang makan dan kamar-kamar warga binaan. Di setiap lorong ada petugas penjaga yang memeriksa bawaan yang dibawa oleh warga binaan yang keluar masuk.
Di dalam sedang ada kegiatan pengajian, sementara di ruang kerja beberapa warga binaan sedang berkarya, ada yang merajut syal, ada yang meraut sapu lidi, ada yang membordir dan di luar ruang kerja ada 2 orang yang sedang membatik. Cukup lama kami berdiskusi di ruang kerja, dari ibu pembina di sana aku bisa tahu bahwa para pengelola penjara wanita ini adalah orang-orang yang sabar, disiplin, optimis dan melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati. Mereka begitu mengenal karakter binaan orang per orang dan tahu bagaimana mengajarkan tanggung jawab dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri. Petugas tahu benar bagaimana memperlakukan warga binaan yang ceria ataupun pendiam dan melakukan pendekatan sesuai karakter mereka. Perhatian petugas pembina sampai ke hal yang detil seperti rambut yang merah ataupun bedak yang tidak rata dari para penghuni.
Dari ruang kerja, melewati ruangan yang difungsikan sebagai gereja, kami menuju dapur. Di sana aku terheran-heran melihat pisang-pisang yang ditulisi dengan spidol dengan angka 1, 2, sampai 5. Ketika kutanyakan ke seorang ibu yang sedang menata makanan di sana, katanya pisang tersebut ditulisi sesuai nama blok, dimasukkan ke dalam wadah sesuai jumlah penghuni supaya tidak tertukar. Di dapur ada beberapa orang yang sedang memasukkan makanan ke dalam rantang-rantang yang telah ditulisi nama dan blok masing-masing. Tujuan pemberian nama di rantang menurut ibu Martiningsih, agar tidak hilang, karena meski mereka sudah dewasa kadang suka seperti anak kecil. Sungguh, layaknya layanan katering untuk anak kos, sangat jauh dari bayanganku seperti yang kulihat di film-film, dimana tahanan berebut makanan mungkin tidak akan terjadi di sini.
Di utara dapur, aku melihat tempat tidur besi yang ditumpuk di luar, ternyata tempat tidur tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi karena warga binaan melebihi kapasitas penjara. Sehingga warga binaan yang tadinya tidur di tempat tidur seperti pasien di rumah sakit sekarang langsung tidur di kasur karena kapasitas penjara yang hanya 150 orang sekarang harus di huni 259 orang. Dari yang tadinya 9 orang per kamar sekarang harus dihuni 12 orang per kamar. Pemanfaatan ruang makan juga harus digilir, kapasitasnya tidak mencukupi kalau harus makan bersama. Blok yang sedang tidak mendapat giliran makan di ruang makan, akan makan di blok-nya masing-masing.
Dari dialog-dialog kami mendapat informasi bahwa kebanyakan yang masuk adalah orang baru, dan hanya beberapa saja yang berstatus ex penghuni. Kalau melihat expresi para warga binaan, kelihatannya mereka baik-baik, tulus dan apa adanya. Kata ibu Martiningsih, mungkin keterpaksaan akibat himpitan hidup yang membuat mereka harus mondok di tempat itu.
Di perpustakaan, kami mendapati 2 orang berseragam merah muda ---seorang berjilbab dan seorang lagi tidak berjilbab--- yang sedang berbenah, menata koleksi buku, novel dan majalah. Di tembok-tembok perpustakaan penuh dengan tempelan puisi karya para warga binaan, ada banyak kata-kata bijak yang tertuang di dinding tersebut. Dari jendela belanag perpustakaan terlohat kebun adenium berbagai warna dan di lorong depan banyak terdapat anggrek. Ternyata bunga-bunga tersebut hasil budidaya yang dilakukan warga binaan. Masih banyak lagi produk yang dihasilkan oleh warga binaan, mulai kecap sampai kerajinan. Keterempilan tersebut mereka dapatkan dari pelatihan-pelatihan oleh lembaga yang bekerja sama dengan LP maupun yang diajarkan sesama penghuni. Keterampilan warga binaan sangat beragam karena keberagaman latar belakang pendidikan formal dan pengalaman mereka, bahkan ada yang lulusan S2 dan pandai berbahasa Inggris.
Ketika temanku bertanya kepadaku, “Ngapain ya mbak S2 di sini, apa karena korupsi?” Aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku sadar bahwa keadilan di negeri ini memang belum sepenuhnya ditegakkan. Ada yang jelas-jelas seseorang tidak melakukan tindakan korupsi masuk penjara karena dianggap salah admninistrasi. Ada yang karena haus setelah berjalan kaki mencuri semangka di kebun, belum sampai dimakan telah dianiaya dan dimasukkan tahanan. Sementara di luar sana para pembunuh dan koruptor berdasi tidak terusik oleh hukum dan keadilan.
Kami mendapat informasi bahwa para pekerja di perpustakaan, di dapur, di koperasi dan tempat lain yang memakai baju merah muda adalah warga binaan yang telah lolos evaluasi, sehingga mereka dikaryakan. Evaluasi terhadap tingkah laku dilakukan setiap minggu dan setiap warga binaan dibina oleh seorang wali. Di tiap dekat blok di tempeli foto, nama, register, hukuman dan denda serta nama wali setiap penghuni yang ditempelkan berdasarkan kriteria hasil evaluasi, mulai maximum security sampai minimum security.
Setelah membicarakan materi yang akan kami latihkan dan jadual yang mungkin dipadukan dengan kegiatan yang telah ada, kami pun berpamitan. Di lorong menuju pintu keluar, aku sempatkan berdoa, “Ya Allah, betapa pun tempat ini bagus, aku tidak ingin menjadi penghuninya, aku hanya akan datang sebagai orang yang memberi. Amiin”.
Yang ingin kami bagi dari pengalaman kami mengunjungi penjara wanita adalah bahwa warga binaan LP adalah manusia, yang mungkin karena kesalahan ataupun keterpaksaan, mereka harus tinggal di sana. Janganlah karena itu kita menghakimi mereka, bukan tidak mungkin mereka lebih mulia dari kita yang merasa dirinya terhormat dan suci. Anggap saja mereka adalah orang-orang yang diberi kesempatan untuk menebus kesalahannya di dunia, sehingga kelak akan menghadap penciptanya dalam keadaan telah bertobat (ESR).

To: Mbak Aas
Terima kasih karena mengajakku dalam pembelajaran tentang sisi lain kehidupan ini.