Kamis, 29 September 2011

PEWARNA ALAMI UNTUK BATIK YANG EKSKLUSIF

I. PENDAHULUAN
Dengan diakuinya batik sebagai warisan budaya asli Indonesia maka pengembangan batik akan semakin menjanjikan. Kesadaran akan pentingnya menjaga batik dari pihak-pihak yang ingin mengklaimnya, mendorong sebagian besar masyarakat untuk back to batik. Hal ini harus disambut dengan antusiasme yang sama besarnya oleh para pengrajin batik.
Pengembangan seni membatik terbukti mampu menyentuh jiwa-jiwa para pelakunya sehingga menjadi pribadi yang lebih sabar, teliti dan tekun. Kebiasaan membatik akan menumbuhkan budaya yang luhur. Selain itu melestarikan seni membatik juga dapat mendatangkan rupiah yang akan berujung kepada kesejahteraan. Mengingat segala hal tentang batik dapat mendatangkan uang mulai dari kursus desain gambar motif, membatik, mewarnai, penjahitan pakaian sampai dengan penjualan.
Warna batik berperan penting untuk memikat calon konsumen. Oleh karena itu seniman batik harus mampu membuat desain dan warna batik yang cocok untuk anak, remaja dan dewasa dari yang ekonominya pas-pasan, sedang maupun kaya. Seniman batik harus mampu meyakinkan konsumen bahwa batik cocok untuk segala umur dan suasana, tergantung desain dan coraknya. Keberadaan pewarna alami sangat penting untuk menghasilkan batik yang lebih berpihak kepada kelestarian lingkungan dan mencegah terjadinya alergi bagi kulit pemakainya.

II. PEWARNA ALAMI
Industri pembuatan kain batik, baik skala kecil maupun menengah, diimbau menggunakan pewarna alami daripada pewarna tekstil sintetis karena limbah sisa pencelupan batik dengan pewarna alami lebih aman dan tidak menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Zat-zat yang terkandung dalam pewarna alami lebih mudah terurai sedangkan pewarna tekstil sintetis sulit terurai di alam.
Limbah yang mengandung pewarna tekstil sintetis akan mencemari tanah dan sumber air. Dampak pencemaran baru akan terasa setelah beberapa puluh tahun kemudian, yaitu munculnya permasalahan kesehatan berupa kanker atau gangguan pencernaan akibat akumulasi zat-zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh melalui air minum.
Ada beraneka jenis tumbuhan di sekitar kita yang dapat dijadikan bahan pewarna alami untuk batik. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk pewarnaan batik juga dapat berasal dari berbagai bagian tanaman mulai akar, kulit batang, daun dan sebagainya. Diperlukan eksperimen yang terus menerus untuk memperkaya warna batik yang sekiranya mampu memenuhi selera konsumen dari berbagai golongan.
Proses pewarnaan menggunakan pewarna alami tidak jauh berbeda dengan pewarna sintesis, karena perbedaannya hanya pada bahan yang digunakan pada pewarna alami tidak mengandung zat kimia, karena semua bahan berasal dari buah, batang, daun, atau akar tumbuhan tertentu.
Untuk memperoleh warna merah, dapat memanfaatkan biji buah pinang,jambu mete, daun teh, buah nanas, atau daun bayam merah, sedangkan warna kuning bisa dari akar dan batang pohon soga, kunyit, atau batang nanas, kalau menginginkan warna coklat dapat menggunakan daun jambu biji, buah teh, serta aren nira. Kain yang dicelup dengan daun jambu cenderung berwarna khaki sedangkan pewarnaan menggunakan daun mangga memunculkan warna hijau muda (pupus). Ketika larutan ditambah dengan tawas, warna yang muncul menjadi lebih kuat (tua). Warna biru yang berasal dari olahan daun indigo disukai konsumen. Warna coklat juga dapat diperoleh dari hasil rendaman kayu mahoni, coklat kemerahan dari buah enau, atau hijau dan kuning yang berasal dari rendaman aneka dedaunan juga banyak disukai konsumen. Warna kecoklatan juga diperoleh dari kombinasi kayu manis, akar mengkudu, dan jelawe. Sedangkan daun alpukat dapat memberikan warna hijau.
Kulit manggis mempunyai pigmen warna yang cocok untuk dijadikan sebagai pewarna serta mengandung sejumlah pigmen yang berasal dari dua metabolit, yaitu mangostin dan β-mangostin. Jika semua kandungan yang terdapat pada buah manggis tersebut diekstraksi, maka akan didapati bahan pewarna alami berupa antosianin yang menghasilkan warna merah, ungu, dan biru. Kulit buah manggis juga mengandung flavan-3,4-diols, yang tergolong senyawa tannin dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tannin adalah salah satu zat warna yang terdapat dalam berbagai tumbuhan dan yang paling baik adalah dalam manggis.
Mengapa Pewarna Alami?
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan kesehatan, mereka cenderung mengkonsumsi produk yang terbuat dari bahan alami dan berkualitas. Produk-produk yang unggul dan kompetitif, serta menggunakan teknologi ramah lingkungan yang dapat berkompetisi di pasaran dunia.
Indonesia memiliki pewarna alam yang dapat memenuhi spesifikasi-spesifikasi di atas, sehingga Indonesia memiliki peluang dan potensi yang menjanjikan dalam berkompetisi di Pasar Dunia. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan lahan yang memadai yang tidak dimiliki oleh negara lain, bahkan pada tahun 1602-1942 Indonesia merupakan penguasa pasar pewarna alami di dunia, dengan produk paling berkualitas.
Jika Batik dan kerajinan tradisional sebagai identitas bangsa dapat dibuat dengan menggunakan pewarna alami, tentunya akan meningkatkan daya jual produk dalam negri, yang pada akhirnya akan meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat.
Perlahan tapi pasti pewarna sintetis akan ditinggalkan karena merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan. Pewarna sintetis yang memiliki grup azo dicurigai sebagai penyebab kanker kulit.
Pewarna alam Biru Indigo dari daun Indigofera tinctoria merupakan zat warna paling populer karena memiliki sifat tidak mudah pudar dibanding pewarna alam lainnya. Pewarna alam Biru Indigo terfiksasi semakin kuat di kain dengan adanya oksigen udara. Hal ini dapat dibuktikan dari koleksi pakaian yang berumur lebih dari 1 abad di British Museum yang memakai pewarna blue indigo (Paul,1988) dan koleksi batik di Kraton Yogyakarta.
Kendala-kendala Pengembangan Warna Alami
Kesadaran akan pentingnya penggunaan warna alami di kalangan pembatik semakin hari semakin meningkat, namun mereka memiliki keterbatasan pengetahuan akan hal itu. Oleh karena itu perlu terus-menerus dilakukan sosialisasi tentang sumber-sumber pewarna alami dan tata cara penggunaannya agar didapat hasil yang maksimal. Para pengrajin banyak yang tidak mengetahui bahwa tanaman yang tumbuh di sekitarnya dapat menghasilkan pewarna batik alami. Mereka juga belum terbiasa untuk bereksperimen untuk mengetahui tentang warna apa yang ditimbulkan oleh bahan pewarna tertentu terhadap aneka jenis kain, mengingat berdasarkan pengalaman bahan pewarna yang sama akan menghasilkan warna yang berbeda jika diaplikasikan kepada bahan yang berbeda. Selain itu, warna yang dihasilkan juga tergantung kepada intensitas cahaya.
Di Kabupaten Pasuruan telah berkembang usaha batik dengan pewarna alam. Batik Dinar Agung yang dimotori oleh Ibu Sri Kholifah telah berupaya mengangkat potensi Kabupaten Pasuruan dalam karya batik mereka. Motif-motif seperti Jumputan Pasir Bromo, Bunga Sedap Malam, Bunga Krisan dan ekosistem bawah laut, dengan mudah dapat ditemui di Workshop mereka yang terletak di Taman Candra Wilwatikta Pandaan Pasuruan. Kelompok Batik Dinar Agung juga dapat mendesain batik sesuai dengan tema yang diinginkan oleh pemesan. Untuk berbagi ilmu dengan para penggiat batik Ibu Sri Kholifah juga membentuk tim yang bersedia mengajarkan teknik membatik dan pewarnaan. Tahun 2011 ini Batik Dinar Agung sedang diusulkan untuk memperoleh Otonomi Award oleh Pemerintah Kabupaten Pasuruan ke Tingkat Provinsi Jawa Timur dan telah masuk nominasi pertama karena batik yang dikembangkan dan upaya mengajarkan batik kepada masyarakat Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten/Kota Se-Jawa Timur telah mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Kelompok Batik Dinar Agung memiliki Motto: Dengan Batik Kita Membangun Karakter, Budaya dan Kesejahteraan Bangsa.

III. PENUTUP

Penggunaan pewarna alami untuk batik semakin penting jika dikaitkan dengan kelestarian lingkungan dan mencegah iritasi bagi kulit akibat bahan-bahan sintetis. Uji coba penggunaan daun, akar, batang, kulit batang dan bagian tumbuhan yang lain dari berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar kita harus terus-menerus dilakukan. Lembaga-lembaga penelitian harus mendukung pembatik dengan melakukan riset tentang hal itu, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan modal yang dimiliki pembatik untuk melakukan eksperimen secara mandiri (ESR).