Senin, 27 Juni 2011

MAKANAN SEHAT DARI PERTANIAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

Membanjirnya makanan minuman impor khususnya buah-buahan di pasaran lokal dengan harga yang bersaing dengan produk lokal membuat kita harus lebih jeli dalam memilih bahan-bahan yang akan kita konsumsi. Banyaknya kasus penyakit degradasi khususnya kanker mendorong kita untuk semakin jeli mengenali berbagai penyebabnya, mulai dari kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung radikal bebas tanpa dibarengi dengan konsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C untuk mengikatnya. Selain itu banyaknya penyalahgunaan bahan non pangan yang dimasukkan ke dalam makanan dan minuman yang dijual bebas di masyarakat telah memicu penyakit degradatif. Oleh karena itu penting untuk menanamkan kebiasan untuk selalu mencermati bahan makanan dan minuman yang akan kita sajikan bagi keluarga.
Ada beberapa langkah pokok yang harus menjadi perhatian, diantaranya:
1. Mencermati komposisi bahan makanan dan minuman jadi atau setengah jadi yang akan kita beli. Selalu belilah bahan makanan yang mencantumkan dengan jelas apa komposisi yang terkandung di dalamnya, lebih aman jika tidak membeli makanan yang mengandung bahan makanan yang mengandung bahan yang kita belum mengenalnya secara baik. Ada beberapa produsen yang menggunakan kata-kata yang masih asing bagi konsumen awam, terutama menyangkut pengawet, pewarna, pengemulsi dan bahan tambahan pangan lainnya. Bahkan banyak produsen yang belum mematuhi batas aman pemberian bahan tambahan pangan. Misalnya bahan yang seharusnya maksimal penggunaannya 100 ppm, karena keterbatasan pengetahuan produsen tentang cara menghitungnya, mereka asal saja dalam menambahkan bahan tersebut ke dalam makanan dan minuman yang mereka produksi.
2. Lihat tanggal kedaluwarsa. Jangan membeli makanan yang telah kedaluwarsa. Kedaluwarsa berhubungan dengan umur simpan makanan dikaitkan dengan kerusakan bahan pangan tersebut. Dalam makanan yang telah kedaluwarsa dikhawatirkan telah tumbuh jamur, kapang, bakteri atau telah rusak karena proses oksidasi. Umur simpan makanan terkait erat dengan kadar airnya, kemasan yang digunakan dan cara penyimpanan makanan tersebut. Bahan makanan dengan kadar air rendah yang dikemas dalam aluminium foil akan lebih panjang umur simpannya dibanding dengan produk basah yang dikemas dengan plastik tipis yang tidak kedap udara. Dalam prakteknya ada beberapa pedagang yang menjual nata de coco dalam kemasan plastik dan tidak disimpan dalam pendingin sampai berhari-hari tidak rusak. Patut diduga bahwa dalam produk tersebut telah ditambahkan pengawet dalam jumlah yang patut dipertanyakan sehingga umur simpannya panjang dalam suhu normal.
3. Usahakan memilih makanan dari produk lokal. Makanan impor telah dipanen dalam waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan bahan makanan lokal sebelum sampai di tangan konsumen. Setelah dipanen, bahan makanan segar mengalami penurunan nilai gizi dan susut berat sehingga banyak nutrisi yang telah hilang dengan semakin lamanya waktu panen dan distribusinya. Banyak orang yang lebih memilih buah impor, misalnya apel merah ataupun peer, telah banyak yang hilang dibandingkan dengan Apel Malang.
4. Bahan pangan yang dibudidayakan dengan cara organik jauh lebih aman bagi kesehatan dibandingkan dengan yang dibudidayakan secara an organik. Akhir-akhir ini trend makanan organik semakin meluas dikarenakan meningkatnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya makanan minuman yang aman bagi kesehatan. Kandungan pestisida dalam bahan makanan yang dibudidayakan secara an organik seringkali tidak terkontrol. Petani seringkali menggunakan pestisida secara berlebihan terutama pada saat musim penghujan karena khawatir tanaman mereka terserang penyakit. Kebiasaan yang terjadi di masyarakat memungkinkan residu pestisida tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Misalnya kebiasaan makan gorengan dengan cabe yang tidak dicuci ataupun makan apel tanpa dicuci terlebih dahulu di air yang mengalir (kran). Pestisida yang terkonsumsi akan memicu kerusakan organ tubuh manusia, misalnya hati yang berfungsi untuk menetralkan racun.

Bagaimana Dengan Produk Perikanan?
Banyak petambak atau nelayan yang gagap teknologi sehingga tanpa mereka mengerti, mereka telah menambahkan bahan tambahan non pangan terhadap ikan, kerang, udang dan lain-lain agar tidak mudah rusak. Mereka hanya mengerti bahwa mereka membeli obat ikan agar hasil tangkapan mereka tetap segar sampai di tangan konsumen. Ketidaktahuan mereka telah menjadi makanan empuk bagi oknum-oknum yang mengambil keuntungan atas ketidaktahuan mereka. Yang menjadi korban adalah konsumen yang mengkonsumsi produk-produk yang mengandung formalin ataupun obat nyamuk. Maraknya produk perikananyang mengandung bahan berbahaya telah menuntut konsumen harus lebih cerdas untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk bagi kesehatan mereka. Untuk itu konsumen hendaknya membungkus produk perikanan dalam kertas buram kemudian merendamnya dalam air kelapa kurang lebih selama 30 menit sebelum memasaknya. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap racun-racun yang terlanjur masuk ke dalam produk perikanan. Keterbatasan pengetahuan tentang bahan tambahan pangan yang dilarang tidak terbatas pada para nelayan, bahkan penulis pernah berdialog dengan seorang DANRAMIL di wilayah kerja penulis perihal koordinasi penertiban penggunaan formalin pada makanan. Beliau malah bertanya, formalin itu yang seperti apa ya bu, bentuknya padat apa cair?
Gubrak!!! Pantas saja penggunaan formalin di daerah ini sulit dikendalikan, ternyata sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Kalau kalangan yang seyogyanya ikut membantu menertibkan saja tidak tahu, apalagi nelayan yang kurang terdidik. Pernah suatu kali penulis berdiskusi dengan ibu-ibu pengolah ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ketika saya bertanya, apakah di daerah sini masih menggunakan formalin? Beliau langsung marah-marah, “Orang pemerintahan tidak tahu kalau sudah panen ikan jumlahnya banyak sekali,” secara tidak langsung beliau mengiyakan pertanyaan saya. Lalu saya bertanya, “Apakah di daerah sini pernah ada kasus orang yang sakit kanker?” Beliau terdiam, lalu menjawab “Ada”. Baru setelah itu saya menjelaskan bahwa penggunaan formalin dapat memicu kanker pada manusia. Mungkin ibu Aisyah ini baru mengerti kenapa tidak boleh menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan. Sejak saat itu ibu Aisyah memiliki nelayan khusus yang memasok ikan ke tempat usahanya, mengingat banyak sekali ikan yang telah diberi “obat ikan” sejak di laut oleh nelayan-nelayan yang belum berpengetahuan. Bahkan beberapa waktu yang telah berlalu ibu Aisyah berani mengantar petugas berkeliling untuk mengambil contoh (sample) di setiap nelayan dan pedagang yang ada di TPI dan menyarankan pemberian sanksi bagi yang terbukti positif (+).
Pekerjaan rumah bagi orang-orang yang berpengetahuan untuk menyebarluaskan informasi di lingkungan masing-masing, tidak hanya persoalan tugas pokok dan fungsinya di pekerjaan, namun lebih karena faktor kemanusiaan. Terbukti masih ada orang seperti ibu Aisyah, bahwa setelah mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya tentang dampak dari penggunaan bahan berbahaya yang berujung pada penyakit, maka beliau terketuk hatinya untuk ikut menyebarluaskan pengetahuan tersebut dan secara aktif mencegah penggunaannya.
Ketidaktahuan menyebabkan petani/nelayan tidak selektif dalam menggunakan bahan tambahan bagi produk mereka. Ketidaktahuan pula yang menyebabkan konsumen tidak mengerti kriteria bahan makanan yang layak dikonsumsi. Namun penyakit tidak pernah berkompromi dengan ketidaktahuan. Penyakit selalu mengikuti hukum sebab akibat. Ketika seseorang sering mengkonsumsi zat yang berbahaya, semakin lama akan terakumulasi, dan ketika batas toleransi telah terlewati maka fungsi organ tubuh akan terganggu. Dampak yang tidak langsung ketika residu pupuk an organik dan pestisida terbawa air dan masuk ke aliran sungai maka “racun” tersebut menyebar ke daerah yang lebih luas. Oleh karena itu kita harus menerapkan pertanian yang ramah lingkungan agar menghasilkan makanan sehat dan menyehatkan bagi tubuh konsumennya serta tidak merusak lingkungan (ESR).