Rabu, 02 Januari 2013

PELUANG PENGEMBANGAN LELE UNTUK MENGANTISIPASI KEBUTUHAN PROTEIN



Pendahuluan
Lele merupakan jenis ikan yang berdaging empuk, tidak banyak duri, rasanya gurih dan dapat diolah menjadi aneka jenis masakan.  Lele sangat mudah dibudidayakan di tingkat rumah tangga, dengan memanfaatkan sedikit pekarangan, di halaman belakang rumah atau dibawah gazebo sekalipun tetap memungkinkan.  Memelihara lele di tingkat rumah tangga sangat menguntungkan karena pemeliharaannya mudah.  Lele juga lebih mudah dan cepat diolah sehingga kita dapat menyajikan masakan yang fresh ketika  mendadak kedatangan tamu.  Selain itu lele menjadi salah satu alternatif sumber protein hewani bagi tubuh.  Sementara harga daging sapi menembus harga Rp 100 ribu/kg, maka lele yang berkisar Rp 14 ribu/kg lebih terjangkau bagi banyak kalangan.   

Komposisi
Komposisi daging lele per 100 gram berat adalah sebagai berikut: 14,53 gram lemak yang terdiri atas lemak jenuh 3,246 gram, lemak tak jenuh ganda 3,673 gram, lemak tak jenuh tunggal 6,482 gram, kolesterol 69 mili gram; protein 17,57 gram; karbohidrat 8,54 gram; sodium 398 miligram; dan kalium 326 mili gram.

Minapolitan Lele
Pada saat ini telah banyak dikembangkan lele dalam skala yang sangat besar dalam suatu kawasan Minapolitan (Kota Perikanan).  Di kawasan Minapolitan terdapat Pusat Pengelola Minapolitan didukung beberapa hinterland.  Minapolitan lele seperti halnya di Kabupaten Boyolali terbukti mampu menggerakkan ekonomi di tingkat pedesaan, meskipun kabupaten tersebut masih mendatangkan bibit dari Kabupaten Kediri.  Di kawasan ini mencakup 3 hal penting menyangkut lele yaitu produksi, pengolahan dan pemasaran. 
Dalam hal produksi, pembudidaya lele bekerja sama dengan penyedia bibit unggul untuk menjamin diperolehnya hasil yang memuaskan.  Selain itu juga dilakukan penjadwalan tebar benih untuk menjamin kontinyuitas produksi dalam satu kawasan.  Dalam kawasan yang terdiri dari 2.000 unit kolam ukuran 5x12 m2 bisa dihasilkan 10-15 ton lele per hari.
Pengolahan lele sangat bervariatif seperti abon lele, keripik lele, kerupuk tulang dan kulit lele dengan teknologi yang sangat sederhana sehingga mudah dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga.  Daging lele juga dapat dijadikan bahan fortifikasi protein dalam biskuit atau makanan bagi balita.  Hasil olahan lele yang berminyak kemudian dimasukkan ke pengatus minyak agar produk tidak mudah tengik.  Dengan desain kemasan yang sangat menarik dan menggunakan bahan-bahan kemasan yang food grade maka olahan lele dapat dipasarkan ke berbagai daerah sebagai oleh-oleh khas dari suatu wilayah. 

Produk lele di pasaran dapat dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu segar dan olahan.  Pembedaan ini menentukan teknik pemasarannya.  Lele segar banyak dijual ke kota pelajar, tempat banyak perguruan tinggi berada seperti Yogjakarta dan Malang.  Setiap harinya tidak kurang dari 10 ton lele dari Boyolali dikirim ke Yogjakarta untuk para penjual lalapan lele.  Sedangkan lele olahan lebih tepat dipasarkan melalui pusat oleh-oleh di berbagai kota termasuk di bandara, terminal dan stasiun.  Yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan resto serba lele di kawasan Minapolitan, sehingga pengunjung dapat langsung membuktikan kelezatan lele yang dihasilkan oleh kawasan tersebut.  Dengan membuka peluang kunjungan lapang bagi setiap pengunjung resto ke tempat budidaya dan pengolahan maka akan dicetak pecinta-pecinta kuliner lele dengan brand yang dibangun di kawasan minapolitan, karena mereka menjadi yakin bahwa lele yang dihasilkan oleh kawasan tersebut aman dikonsumsi.  Hal ini dapat mengantisipasi ketakutan konsumen untuk mengkonsumsi produk ikan karena banyak produsen yang menggunakan bahan tambahan non pangan dalam produk mereka, seperti obat nyamuk dan formalin.


Penutup
            Dalam suatu kawasan Minapolitan maka diberlakukan sistem klaster (cluster), jadi stakeholders yang ada bekerja dalam kelompok-kelompok penyedia bibit, penyedia saprodi, pembudidaya, pengolahan, dan pemasaran.  Setiap kelompok bekerja secara sinergis sehingga saling melengkapi dan menguatkan.  Dengan demikian tidak ada tengkulak yang dapat mempermainkan harga beli.  Secara ekonomi mereka bertumbuh menjadi semakin besar.  Jika lele segar laku di pasaran dengan harga Rp. 14 ribu/kg maka pembudidaya telah memperoleh margin keuntungan Rp.  5 ribu/kg karena biaya produksi berkisar pada angka Rp.  9 ribu/kg (ESR).