Jumat, 09 Juli 2010

SEPENGGAL KISAH-KISAH KEHIDUPAN

Perempuan Muda Peminta
Pagi ini, tanggal 9 Juli 2010, di pintu keluar bis Terminal Arjosari, ketika aku sedang menunggu teman yang mengajak barengan berangkat kerja ke Pasuruan, seperti biasa banyak orang yang lalu lalang di depanku. Tiba-tiba ada seorang perempuan seumuranku yang mendekatiku sambil bilang “minta uang buat beli beras”. Mendengar intonasi suaranya aku jadi ingat sepenggal kisah peminta-minta di Kampus UB yang dulu selalu bilang “mbak, mau beli baju, buat beli obat nenek saya yang sedang sakit”. Aku ingat betul wajah mbak tersebut, karena sejak aku Maba di S-1 sampai lulus S-2 dia sering beroperasi di sekitar Laboratorium Biologi dengan kata-kata yang sama. Seorang perempuan muda berambut seperti ombak (andan-andan = Bahasa Jawa) yang selalu membawa kresek hitam berisi ‘sesuatu’ yang aku tidak pernah tahu. Perempuan itulah yang kutemui pagi ini. Setelah memberi sekedarnya aku tergelitik untuk tanya “ga kerja ta?” Namun jawabannya tetap sama, “minta uang buat beli beras”. Pikiran nakalku sempat bilang, “waduh kok kayak komputer yang sudah diprogram bilang gitu”. Padahal aku pengin mengajaknya mengobrol, barangkali dia mau bekerja mencuci baju, setrika atau bersih-bersih rumah. Cukup lama aku menunggu temanku sehingga cukup waktu untuk melihat bahwa mbak-mbak di kampus UB yang telah menua tanpa bermetamorfosa itu terus menghampiri para calon penumpang yang sedang menunggu bis, dengan tetap mengucapkan, “minta uang buat beli beras”.

Kakek Tua Penjual Roti Bolu
Dahulu di kampus UB saya juga sering menemui kakek tua penjual roti bolu, yang selalu berteriak “roti, rotiiii”. Seorang kakek yang suka memakai baju hitam dan setiap hari jualan di kampus. Ketika aku menginjak kuliah S-2 di kampus yang sama, aku menemukan kakek tersebut duduk di antara laboratorium Kimia dan Fisika menjadi peminta-minta. Ketika aku dan mbak Aas melewatinya, mbak Aas bilang, “gimana ya, barangkali dia memang sudah tidak kuat untuk bekerja”. Namun setelah beberapa tahun aku lulus dan main-main ke eks tempat kos, sekitar pukul 19.30 WIB di Jl. Watu Gong aku dan dik Lilis menemukan kakek tua tersebut sedang berjualan roti bolu. Setelah cukup main, pada pukul 21.30 WIB kami pulang dengan melewati Jl. Kerto Raharjo. Betapa kagetnya aku karena kakek tersebut masih berjalan tertatih-tatih sambil membawa kotak rotinya di dada. Aku trenyuh, melihat perjuangan kakek tersebut dalam menafkahi dirinya. Mungkin, memang jiwanya bukan peminta-minta, makanya dia rela bekerja hingga larut malam karena untuk sekedar melangkahkan kakinya saja dia sudah kesulitan. Padahal jarak antara rumahnya yang di seputaran Mergosono ke Ketawang Gede butuh waktu sekitar 1 jam dengan naik mikrolet.

Pengamen Balita
Kamis, 8 Juli 2010 di bis Pasuruan – Malang yang kunaiki sepulang kerja, ada seorang balita mengamen menyanyikan lagu Gaby atau apa judulnya, kalau ga salah lagunya ada syair “… pernah ada, rasa cinta…”. Ketika aku mleihatnya, aku tahu bahwa balita itu dulunya adalah bayi yang digendong seorang pengamen perempuan yang selalu mendangkan lagu dangdut “… sungguh terpaksa, aku menyanyi….” Aku hhafal mereka, kerena hamper tiap hari ketemu di bis. Ketika aku melirik ke belakang, ternyata ibunya ikut naik ke bis, namun dia tidak menyanyi karena telah menurunkan profesinya kepada anaknya, semacam regenerasi. Balita itu adalah balita yang sama, yang dulu pernah duduk di kursi di sebelahku sementara ibunya mengamen. Balita yang dulu hanya mengenal kata “nyuwun” setelah bertanya barang apa yang kubawa. Sekarang balita itu telah bermetamorfosa menjadi pengamen cilik.
Menyimak penggalan kisah-kisah tersebut di atas, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan, apakah aku hanya akan menjadi pengamat atau melakukan sesuatu yang lebih bermakna untuk orang-orang yang kutemui setiap harinya. Tidakkah sebenarnya setiap pribadi berhak atas penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jujur aku tidak tahu persis apa kendala mereka, apakah karena tidak adanya kemauan untuk berubah atau tiadanya akses untuk memperbaiki penghidupan mereka. Yang dapat kulakukan saat ini hanyalah berinteraksi dengan mereka, mengajaknya bicara dan hal-hal kecil sekedarnya.