Selasa, 08 Desember 2009

FAST FOOD (MAKANAN CEPAT SAJI)

Pernahkah pembaca dan keluarga berkunjung ke restoran makanan cepat saji (fast food)? Pelajaran apa yang dapat anda ambil dari trend mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food)? Pelayan yang ramah dan berpakaian rapi, pelayanan yang cepat, ruang makan yang bersih dan nyaman, kualitas makanan yang terstandarisasi, manajemen SDM yang baik serta lokasi usahanya yang strategis. Pernahkah pembaca berfikir tentang seberapa besar kalori yang terkandung dalam tiap porsi makanan cepat saji (fast food), sudahkah memenuhi unsur-unsur empat sehat lima sempurna? Apakah makanan tersebut tidak mengandung bahan yang berbahaya bagi tubuh kita? Sudah selayaknya kita memandang segala sesuatu secara proporsional, menilai dengan objektif baik dan buruk dari setiap fenomena yang ada di sekitar kita. Alangkah lebih baik jika pengetahuan tersebut ditindaklanjuti dengan mengadopsi nilai-nilai positifnya dan memperbaiki hal-hal yang kurang baik sebagai bekal kita dalam menciptakan/memilih menu makanan sehat dan membangun usaha.


Pendahuluan

Perubahan pada pola hidup dan pola makan kita telah menyebabkan maraknya muncul makanan yang disebut dengan Fast Food, dalam bahasa Indonesia disebut "Makanan cepat saji". Saat ini tak ada banyak waktu untuk menyiapkan makanan maka dikenal eat on the run. Hal ini disebabkan oleh jadwal kegiatan yang padat dan sibuk. Makan di luar rumah terutama pada siang dan malam hari sudah merupakan hal yang umum di daerah perkotaan di Indonesia, oleh karena lebih banyak wanita yang bekerja di luar rumah, sehingga kurang waktu untuk menyiapkan makanan di rumah.

Oxford dictionary mendefinisikan fast food sebagai: makanan yang dapat diolah dan disajikan dalam waktu yang singkat dan mudah dalam hitungan beberapa menit, terutama di snack bar atau rumah makan. Bila kita mendengar istilah fast food maka kita langsung berpikiran makanan seperti burger, french fries, fried chicken, pizza, dan sebagainya. Sering dikacaukan dengan Junk Food, yang definisinya adalah makanan dengan nilai gizi yang rendah, misalnya Chikie, Cheese Ball, yang sangat disukai oleh anak. Umumnya fast food mengandung tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi gula dan garam yang membuat kita menolaknya. Kebanyakan fast food mengandung lebih dari 50% lemak, rendah besi, kalsium, riboflavin, serat makanan, vitamin A dan C. Kandungan vitamin C rendah bila tidak dimakan bersama buah atau juice buah. Apakah berarti kita harus menolak fast food? Bukan tidak perlu kita menolaknya karena berlawanan dengan kepercayaan umum, fast food dapat menjadi bagian dari makanan yang seimbang, yaitu dengan menyantap juga jenis makanan lain untuk membuatnya seimbang.

Fast food merupakan pilihan makanan yang baik bagi yang membutuhkan kecepatan, kenyamanan, terjamin kebersihannya, lezat rasanya, kepraktisan, dan harga yang relatif murah serta sedikit keluar tenaga, bisa sambil berekreasi serta bergengsi. Fast food kini telah menggeser makanan tradisional, bahkan telah merubah pola makan.

Kalori

Pada umumnya menu makanan cepat saji mengandung kalori, garam dan lemak termasuk kolesterol dalam jumlah yang besar, selain itu menu ala Barat umumnya hanya sedikit mengandung serat (dietary fiber) dibanding makanan di rumah tangga. Kalori adalah satuan ukuran untuk energi yang didapatkan tubuh dari makanan seperti dari karbohidrat, protein dan lemak. Setiap gram karbohidrat dan protein memberikan kurang lebih 4 kalori energi, sedangkan dari 1 gram lemak diperoleh hampir 9 kalori. Oleh karenanya dapat diduga bahwa menu makanan cepat saji ala Barat mengandung kalori yang lebih tinggi dibandingkan dengan makanan rumahan serta tidak mengandung beberapa unsur yang diperlukan tubuh (serat, vitamin, mineral) dalam jumlah yang cukup.

Fungsi normal tubuh seperti bernapas dan denyut jantung, serta aktivitas fisik membutuhkan energi. Kebutuhan energi setiap orang berbeda-beda, antara lain dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas seseorang. Kekurangan kalori merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas kerja. Sebaliknya kelebihan kalori akan menambah berat badan dan menyebabkan kegemukan.

Banyak penelitian membuktikan, seperti halnya kegemukan (obesitas), konsumsi makanan tinggi lemak menyebabkan peningkatan kolesterol dalam darah dan merupakan salah satu faktor resiko pemicu penyakit jantung, stroke dan diabetes. Selain itu, diet tinggi lemak juga memperbesar resiko terkena kanker, terutama kanker payudara dan usus besar.

Dalam hidupnya, setiap orang juga membutuhkan asupan garam dari makanan, untuk mengganti sejumlah zat gizi yang dikeluarkan tubuh sehari-hari. Pengeluaran tersebut antara lain melalui keringat, tinja dan air kemih. Unsur natrium adalah kandungan mineral yang paling dominan menjadi komposisi garam dalam makanan. Pada orang tertentu, diet tinggi garam mempunyai hubungan dengan resiko terjadinya penyakit darah tinggi.

Adapun serat dari makanan merupakan karbohidrat komplek, yang tidak turut dicerna. Serat dapat membantu fungsi pencernaan dengan mengurangi kemungkinan sulit buang air besar, selain peran lainnya dalam menurunkan kadar kolesterol dan gula darah.

Konsumsi Makanan Cepat Saji Harus Terkontrol

Salah satu pilihan untuk berbuka puasa bagi orang kantoran yang sibuk adalah makanan cepat saji karena selain enak, lezat, juga praktis. Namun harus dikaji apakah makanan cepat saji menyehatkan atau justru membahayakan kesehatan kita?
Pilihan mengkonsumsi makanan dari restoran cepat saji , terutama yang menyediakan menu ala Barat (Western Style), semakin sering dilakukan oleh masyarakat di kota-kota besar. Selain gerai restoran-restoran tersebut semakin mudah ditemukan di berbagai penjuru kota, para pengelola umumnya selalu melalukan inovasi untuk menciptakan varian baru.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Health Education Authority, mayoritas konsumen makanan cepat saji berusia antara 15 - 34 tahun. Meskipun di Indonesia belum dilakukan penelitian dengan hasil yang akurat, namun dapat diduga bahwa para konsumen adalah kelompok pelajar, mahasiswa dan pekerja muda. Konsumen yang memilih makanan cepat saji umumnya berasalasan bahwa mereka memiliki keterbatasan waktu dan fasilitas untuk menyiapkan makanannya sendiri. Kelompok tertentu telah menjadikan makanan cepat saji sebagai bagian dari gaya hidup.


Resiko Jika Mengkonsumsi Berlebihan

Menghonsumsi makanan cepat saji bukannya tanpa resiko. Samuel Hirsch, seorang pengacara dari New York, menuntut empat restoran cepat saji terkemuka di Amerika. Tuntutan itu dilakukan, karena makanan berkadar lemak tinggi yang disajikan restoran-restoran tersebut dianggap bertanggungjawab atas gangguan kesehatan dan kegemukan yang diderita kliennya, sebagaimana dikutip surat kabar Fox on-line.
Hirsch juga mewakili dua klien lain dengan kasus serupa, yang dalam
waktu dekat akan maju ke pengadilan New York. Frances Winn, klien Hirch, adalah pensiunan perawat berusia 57 tahun, mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji sedikitnya dua kali seminggu sejak tahun 1975. Hal itu membuat berat badannya meningkat, menderita tekanan darah tinggi, kolesterol dan gangguan kelenjar tiroid.
Klien Hirsch lainnya, Israel Bradley biasa mengkonsumsi sekitar 400 gram kentang goreng, walau hanya sekali dalam seminggu. Di usianya yang ke-59 tahun, ia menderita tekanan darah tinggi, kencing manis dan kegemukan.


Kegemukan (Obesitas) Meningkat

Penelitian-penelitian menemukan adanya kaitan antara riwayat kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan lemak, dengan meningkatnya kegemukan. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), angka kejadian obesitas di negara maju seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa sangat tinggi. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun.

Di wilayah Asia Pasifik, gejala ini juga mulai berkembang, terutama di wilayah perkotaan. Lebih mengejutkan, beberapa kasus obesitas ditemukan sejak usia anak-anak. Di Malaysia, Cina dan Jepang, sekitar 5 - 17 % kasus obesitas terjadi pada golongan usia yang relatif muda yaitu 6 - 14 tahun.

Bagaimana Memilih/Mengkonsumsi Makanan Cepat Saji Dengan Benar?

Menanggapi banyaknya tuntutan, pihak produsen makanan cepat saji menjelaskan bahwa tuduhan tersebut tidak masuk akal. "Tersedia banyak pilihan jenis restoran dan konsumen bebas menentukan pilihannya," sebagaimana diungkapkan Katharine Kim, juru bicara Asosiasi Restauran Nasional Amerika Serikat.

Walter Olson, pakar hukum dari Institut Manhattan melontarkan pembelaan senada, "Banyak orang umumnya sudah menyadari, bahwa mengkonsumsi burger keju ukuran besar tentu saja tidak sama dengan sayuran." Juru masak dari salah satu restoran yang dituntut mengatakan, "Lagipula, makanan bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesehatan, latihan jasmani juga penting." Menyikapi kontroversi yang muncul sekitar makanan cepat saji, memang sulit disangkal adanya kaitan antara riwayat kebiasaan mengkonsumsi hidangan cepat saji dengan kegemukan, yang manifestasi utamanya pada sistem pembuluh darah.

Di lain pihak, menu makanan cepat saji memang tidak selalu identik dengan makanan yang berbahaya bagi kesehatan, selama konsumsi jenis makanan tersebut dilakukan dengan lebih selektif, bijaksana serta tidak dijadikan suatu kebiasaan rutin.

Adalah tepat jika disadari pula, bahwa makanan bukan satu-satunya faktor pencetus kondisi-kondisi gangguan kesehatan tersebut. Kegemukan secara garis besar terjadi karena asupan kalori lebih banyak dari jumlah kalori yang dibakar, guna keperluan tubuh menjalankan fungsinya dan beraktivitas. Akibatnya, kelebihan kalori yang tidak dibakar tersebut akan menumpuk di tubuh, dalam bentuk lemak. Sehingga berat badan dan kandungan lemak dalam tubuh, termasuk kolesterol darah, dapat cenderung meningkat. Untuk itu, kita perlu lebih selektif dalam memilih makanan, serta dikombinasikan dengan kebiasaan hidup sehat lainnya. Misalnya, berolahraga secara teratur akan memberikan hasil lebih optimal pada kesehatan tubuh. (Rumawas, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar