Kamis, 30 Desember 2010

SATU HARI TANPA NASI (ONE DAY NO RICE)

Sekarang ini ---tahun 2010--- pemerintah gencar-gencarnya menggalakkan Gerakan Sehari Tanpa Nasi atau yang lebih dikenal sebagai one day no rice. Meskipun sangat terlambat, gerakan ini patut didukung. Mengingat masyarakat Indonesia sudah sangat tergantung terhadap nasi. Bahkan sudah umum jika ada yang bilang “serasa belum kenyang kalau belum makan nasi”, meskipun sudah mengkonsumsi sumber karbohidrat yang lain seperti roti, kentang dan mie. Ketergantungan terhadap nasi diawali sekitar tahun 1970-an dimana pemerintah menggalakkan budidaya padi. Pada saat itu pemerintah sampai memanfaatkan keberadaan mahasiswa KKN untuk mengawal penanaman padi berumur pendek. Bahkan menurut Prof. Hari Purnomo, yang pada saat itu KKN di Malang Selatan, petani juga ditunggui tentara agar mau menanam padi tersebut. Petani yang awalnya enggan, setelah 3 tahun merasakan manfaatnya, sehingga sewaktu beliau pulang KKN sampai diarak naik cikar dengan dibawakan hasil panen petani.
Sejak produksi padi mulai melimpah, masyarakatpun menggantungkan sumber pangan hanya pada beras. Bahkan diungkapkan atau tidak, ada faham bahwa yang belum mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya sama dengan belum sejahtera, belum merasakan hidup berkecukupan. Fakta ini penulis temukan di tahun 1995, seorang anak bernama Ning, yang tinggal di sebelah Pondok tempat kami ---penulis dan teman--- bakti sosial, di Desa Purworejo, Donomulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur sampai tidak menghiraukan kami, yang menyapanya sewaktu dia sedang makan. Ketika penulis tanyakan kenapa Ning seolah tak menghiraukan kami ke teman tersebut, dia menjawab, “iya, soalnya dia sedang makan nasi putih, biasanya dia makan tiwul dan jagung”. Jawaban yang mencengangkan, padahal yang kulihat si Ning makan nasi putih dengan lauk sambal cabe yang masih hijau dan daun singkong rebus saja.
Kehidupan terus berjalan, dan pergeseran pola konsumsi dari tiwul dan jagung ke beras terus berlangsung. Apa yang terjadi dengan sagu, ganyong, ubi jalar, dan sejenisnya juga tidak berbeda jauh. Tiba-tiba kita tersentak ketika melihat data pada tahun 2010. Konsumsi beras ---termasuk untuk jajanan dan lontong--- pada tahun ini telah mencapai 139 kg/kapita/tahun dan mencapai 100 ribu ton per hari atau mencapai 92 – 95% dari total karbohidrat yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Dalam setahun kebutuhan beras mencapai 34 juta ton. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan, mengingat peningkatan produksi padi dalam 3 tahun terakhir hanya sekitar 4,49%, sehingga pada akhir tahun ini Perum BULOG akan mengimpor beras dari Thailand sebanyak 300 ribu ton untuk memenuhi stok sebesar 1,5 juta ton.
Untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, tidak ada pilihan lain selain mengupayakan diversifikasi pangan. Namun harus tetap diingatkan bahwa masyarakat sebaiknya tidak beralih mengkonsumsi makanan berbahan baku gandum, seperti roti dan mie. Kenapa? Karena gandum harus diimpor dari luar negeri juga.
Diversifikasi pangan harusnya dilakukan dengan mensubstitusi beras dengan produk pangan lokal seperti singkong, ubi jalar, ganyong, sagu dan jagung. Jika setiap orang melakukan free rice day sebulan sekali maka terjadi penurunan konsumsi beras 1,2 jt ton per tahun. Dan potensi ekonomi non beras yang dapat dikelola sekitar Rp. 6 trilyun. Itu yang dikatakan Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurti.
Menyadari kenyataan di atas, marilah kita dukung gerakan one day no rice. Caranya dengan mengawali dari dapur kita sendiri, yaitu menyiapkan penganan non beras seperti singkong, waluh, ganyong, jelarut, talas, bentol baik yang dikukus saja ataupun diolah lebih lanjut. Banyak kreasi makanan yang dapat diolah dari bahan-bahan lokal tersebut, misalnya singkong karamel, bakpau waluh/ubi jalar, biskuit ganyong/jelarut, keripik talas/bentol, dan sebagainya.
Jika ditinjau dari biaya yang harus dikeluarkan, memanfaatkan bahan-bahan potensi lokal tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan beras ataupun gandum. Untuk menambahkan cita rasa pada makanan yang kita olah kita dapat memanfaatkan bahan lokal yang lain seperti susu segar dan ikan lele sebagai bahan isian.
Memanfaatkan apa yang terserak di sekitar dengan mengoptimalkan potensi yang ada di dalam diri kita adalah salah satu perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh karenanya, dalam rangka mensyukuri nikmat kesehatan, kecerdasan dan keterampilan serta dalam rangka mendukung Gerakan Sehari Tanpa Nasi, marilah kita memberikan sumbangsih kita kepada kebaikan ummat manusia. Bagi anda yang seorang peneliti, sudah selayaknya menyempatkan diri melakukan banyak penelitian tentang bagaimana cara yang paling tepat mengolah bahan-bahan lokal tersebut menjadi makanan siap saji yang diminati konsumen. Bagi yang usahawan, tidak ada salahnya menggarap potensi pengembangan produk-produk tersebut mulai dari budidaya sampai dengan membuka restoran siap saji berbahan produk lokal. Bagi ibu-ibu rumah tangga mulailah dengan berbelanja bahan-bahan lokal tersebut daripada harus membeli roti-roti merek impor berbahan impor. Mari mulai dari diri sendiri, sejak saat ini (ESR).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar